Pertemanan Tali

SEMUA orang yang pernah meminjam ransel saya pasti paham syarat yang saya berikan. Mereka tidak boleh menghilangkan tali pita berwarna pink yang tergantung di sudut kiri kepala ransel. Satu syarat yang lebih mirip lelucon daripada sebuah syarat serius yang sulit dipenuhi. Sebagian orang mungkin menganggap ini lelucon. Saya bisa tahu dari ekspresi mereka yang umumnya tertawa sebentar sambil menanyakan keseriusan syarat yang saya berikan. Mungkin memang seperti lelucon, tapi sesungguhnya saya serius soal syarat itu. Hingga hari ini, tali itu masih tergantung di tempatnya, tidak pernah hilang.

DSCF1499
Sophie berlatar gunung Merapi.

Tali pita berwarna pink itu adalah pemberian mentor teman perjalanan ketika saya hendak dilantik menjadi Mapala, 3 tahun lalu. Warna pitanya menyesuaikan warna baju jalur yang wajib kami kenakan. Semua yang lewat jalur itu diberikan pita yang sama untuk penanda. Selain karena ransel bermerk Deuter sudah seperti ransel panti di organisasi kami, pita itu adalah pembeda kami dan jalur lain. Sebuah identitas yang dibentuk. Tali itu hanya rajutan benang biasa, pada awalnya. Tapi belakangan saya mendapat lebih banyak kesan bahwa ternyata tali pita itu tak hanya sekadar tali penanda. Ia lebih dari itu.

 

Beberapa minggu yang lalu saya diminta menemani calon anggota yang akan dilantik menjadi Mapala seperti saya. Juga melewati jalur yang sama saat saya dilantik. Warna baju jalurnya pun sama. Kendati sebenarnya saya ingin menjajal jalur baru yang lebih menantang, tapi akhirnya saya setuju juga untuk lewat jalur ini karena beberapa hal. Salah satunya adalah menguji ingatan agar tidak tertumpuk semakin bawah lalu lupa. Tugas saya ringan, hanya menemani, tanpa intervensi. Saya hanya boleh mengarahkan sedikit-sedikit kala tim sudah keluar jauh dari jalur, begitu instruksi dari penanggung jawab teknis kepada saya. Tugas ini pun semakin ringan karena saya satu manajemen perjalanan dengan mereka. Tugas saya sepertinya memang akan lebih banyak leha-leha ongkang kaki. Saya juga ditemani dua orang anggota lain, Prihandoko dan Wahyu Adityo Prodjo (Demang). Keduanya datang dari generasi yang berbeda, tapi berprofesi sama sebagai jurnalis. Mpri jurnalis Majalah Tempo, sementara Demang jurnalis di Kompas.com.

Pada proses pendidikan kali ini saya memang terlibat lebih banyak karena hanya berstatus anggota biasa. Saya pun baru merasakan susahnya menjadi mentor pendamping ketika pendidikan kali ini berlangsung. Di pendidikan sebelumnya saya tidak dapat menjadi mentor karena aturan organisasi. Senang rasanya punya kesempatan terlibat langsung karena ilmu yang pernah didapat jadi terasah. Maka ketika kesempatan untuk mendampingi perjalanan pelantikan datang, saya tidak menyia-nyiakan untuk kembali memanggul ransel. Banyaknya kesamaan pada perjalanan yang akan saya dampingi ini membuat saya teringat pada tali yang tergantung di ujung kiri kepala Sophie (nama ransel saya). Akhirnya saya pun memberikan tali pita pink kepada mereka. Mulanya hanya iseng, tapi ternyata saya mendapat sesuatu yang lain.

Pada perjalanan ini, entah siapa yang harus mengucap syukur. Saya, rekan-rekan yang lebih senior itu, atau calon anggota yang akan dilantik. Tapi rasanya semua dari kami harus bersyukur. Perjalanan ini tergolong lengkap. Tiga generasi akhir di Mapala ikut dalam rombongan. Mpri mewakili generasi nomor depan 700, Demang 800, dan saya 900. Sementara calon anggota yang saya temani nanti pasti akan ada yang mendapat nomor depan 1000. Rasanya itu bukan sebuah kebetulan, mungkin keberuntungan.

Salah satu tugas teman jalan atau mentor pendamping saat pendidikan dasar di Mapala adalah memfasilitasi rasa ingin tahu calon anggota tentang Mapala. Saya tahu bahwa setiap calon anggota memiliki pengetahuan yang minim tentang Mapala, sementara rasa keingintahuan mereka tinggi. Karena alasan itulah perjalanan ini akan semakin lengkap. Calon anggota bisa bertanya dari tiga generasi yang terlibat di Mapala. Bahkan hingga 10 tahun ke belakang kalau dihitung dalam satuan tahun. Seperlima dari usia Mapala. Pada akhirnya sepanjang perjalanan memang cerita demi cerita yang terlontar.

Pada titik ini saya menyadari bahwa mungkin inilah yang membuat Mapala selalu sama dari dulu hingga kini. Model pendidikan yang mengedepankan egalitarianisme a la mentoring karena semangat dasarnya adalah mencari teman untuk menjadi satu tim. Layaknya seorang teman, maka mereka harus diperlakukan setara tanpa relasi patron-klien, relasi yang mengandaikan ada yang lebih tinggi dari yang lain. Kalau ada sebuah seleksi, sesungguhnya di Mapala yang paling berat adalah ketahanan untuk menerima sebuah ejekan. Tidak ada yang bisa mengejek lebih parah dari Mapala. Jika seseorang bisa tahan dengan ejekan itu, niscaya ia akan lolos dari seleksi. Ejekan yang dilontarkan tentu bukan dengan pretensi ingin menyakiti, namun lebih kepada upaya mendekatkan diri menerobos sekat-sekat yang biasanya diciptakan sendiri. Karena banyaknya ejekan inilah saya sering berkelakar kepada teman-teman bahwa di Mapala pada akhirnya pilihannya memang ada dua: Menjadi tukang ejek, atau menjadi objek ejekan terus menerus.

Lebih jauh lagi di dalam perjalanan saya menyadari bahwa sebetulnya ada yang mengikat Mapala dari generasi terdahulu hingga sekarang. Seperti sebuah rangkaian tali yang terus sambung-menyambung saling menguatkan. Ejekan atau celaan contohnya, sedari zaman Maulana Ibrahim, Prof. Rahayu, Soe Hok-Gie sebagai pendiri, juga generasi Rudy Badil, Kasino, Dono, atau Norman Edwin, ejekan itu selalu ada. Bahkan lestari hingga kini. Saya tahu tentang ini karena saat mereka berkumpul dan saya ikut dalam pembicaraan, setiap dari mereka bergiliran saling melemparkan ejekan. Umumnya adalah ejekan semasa masih mahasiswa dulu. Bergeser ke generasi yang agak ke tengah pun sama. Saya pernah mendengar teman main satu angkatan 1982 yang melemparkan ejekan saat jalan mendaki gunung, atau pembicaraan di Cilandak Town Square dengan angkatan 1988 yang lebih banyak mengejek teman mereka yang putus cinta dengan teman sesama angkatannya. Dan masih banyak lagi.

Kenakalan juga menjadi sesuatu yang seperti saling terikat dari generasi ke generasi. Dari zamannya Henry Walandauw, Herman Lantang yang membohongi rektor saat akan ekspedisi gunung es pertama kali, Norman Edwin yang digelandang hanya memakai kolor (celana dalam), atau rbut-ribut angkatan 80an dengan UKM lain, hingga bersantai dengan sebuah lintingan penyulut rasa santai saat akan menaikkan dasi di leher Monas, atau ketika menyelipkan barang cair tapi keras saat berangkat perjalanan panjang di akhir tahun 90an. Saya merasa bahwa sebenarnya kelakuan anggota Mapala dari generasi ke generasi seperti ada yang mengikat dengan kuat.

IMG_0699
Pendakian lintas angkatan ke Carstensz Pyramid tahun 2015. Satu contoh pertalian antargenerasi di Mapala. Dari kiri-kanan: Fandhi Achamad, Paido Panggabean, Rahardjo Satrio Unggul, Agung Sutiastoro, Tubagus Ryan Aronda, Firman Arif, Ade Rahmat, Machoy “Dade”, Ari Nugroho, Manogari Siahaan, Agus Radjani Panjaitan, Nizar Suhendra, Adi Seno Sostromulyono, Ridwan Hakim.

Tali pengikat antar generasi itu juga yang membuat Mapala bisa bertahan dan terus tumbuh menjadi besar hingga sekarang. Ketika zaman Hadidjojo, Rafiq Pontoh, Rudy Badil, hingga Heru Budiargo berjalan di depan, orang-orang seperti Norman Edwin dan Hendiarto Djuwandi berjalan di belakang mengikuti. Hingga tiba masanya Norman Edwin berjalan di depan memimpin nama-nama seperti Adi Seno, Dedy Aloy, Sute, Didiek Samsu, sampai nama-nama yang kemudian juga berada di depan memimpin generasi berikutnya. Pelajaran terbaik seorang pendaki gunung memang berjalan di belakang seorang mentor yang sudah lebih berpengalaman. Ia akan belajar bagaimana melangkahkan kaki di gunung, juga melintasi setiap kesulitan, dan yang paling penting mengambil keputusan. Adi Seno secara langsung mengakui ini, saya pernah membaca tulisannya. Saya rasa hal itu benar. Berjalan di belakang mereka yang lebih berpengalaman juga akan memupuk percaya diri, juga membuat kita belajar tentang sikap saat mendaki gunung. Itulah alasan mengapa dari generasi ke generasi di Mapala jika berjalan mendaki gunung punya kebiasaan sama yakni melipat kedua tangan di bawah dada. Bukan kebetulan, hal itu sudah menjadi kebiasaan yang turun karena yang muda juga akan belajar bersikap dari yang sudah lalu.

Kalau masih perlu bukti yang lebih sahih lagi soal tali pengikat ini, sesungguhnya kita dapat melihat dua gerbong besar di Mapala. Dua gerbong itu adalah panjat tebing dan arung jeram. Sejak zaman panjat tebing muncul pertama kali, nama seperti Herman Lantang dan pendaki awal di Mapala sudah memumuk nama Norman Edwin sebagai penerus. Hingga akhirnya Norman lebih mendalami kegiatan tersebut dan muncul nama Adi Seno, Setyo Ramadi, dan yang lain. Pertalian ini dilanjutkan kepada Agung Sutiastoro dan generasi 90an, hingga awal 2000 muncul satu nama dalam diri Fandhi Achmad. Sampai di awal dekade kedua 2000 diteruskan Ridwan Hakim. Pun dengan arung jeram yang gerbongnya sangat banyak. Sejak Sinarmas Djati melakukan pengarungan bersama Frank Morgan dan mahasiswa dari Amerika, gerbong ini terus berkembang. Norman Edwin jadi penerus, juga Agus STM Mulyono. Rudy Becak tiba berikutnya, Iman Abdurrahman menambah daftar mewakili generasi 90an, hingga awal 2000an terus berkembang dengan nama-nama yang familiar. Sampai sekarang dayung kemudi berada di Gus Firman, Kurniadi, lalu berpindah ke Bagea, Bintang. Dayung kemudi itu tak pernah patah, mengutip mantra sakti mereka.

Dua gerbong ini memiliki semacam password untuk menjaga pertalian generasi itu. Jika generasi paling kini hendak meneruskan pertalian, mereka harus bisa meyakinkan simpul-simpul generasi terdahulu itu. Jika simpul-simpul generasi terdahulu sudah berucap Ya, maka garansi perizinan dan fasilitas lain segera datang secara otomatis. Nama-nama penggembira juga akan datang karena sang simpul sudah memberikan jaminan.

10259714_10203028420305051_3518504351203268918_n
Pelantikan BKP Mapala UI 2013 di Mandalawangi, Gunung Pangrango. Berfoto usai perlombaan a la 17an.

SAAT mengingat itu semua, saya merasa bahwa perjalanan yang sedang saya lakukan ini akan bersifat sama. Saya harus berusaha menjaga pertalian itu. Sesungguhnya tugas terberat dari perjalanan ini adalah memastikan tali generasi itu tersambung kuat. Maka tidak heran ketika di tengah perjalanan, di sela istirahat makan siang atau saat hujan tiba-tiba datang, Saya, Mpri, dan Demang pantas khawatir dan resah karena teman-teman calon anggota ini tidak melakukan kebiasaan yang sering kami lakukan. Mereka justru terus berjalan tanpa mempedulikan hujan, juga hanya menenggak air putih saat istirahat. Padahal kebiasaan kami di Mapala jika sedang istirahat makan siang atau hujan, kami akan berhenti sejenak, mengenakan jaket, makan makanan kecil, membentangkan flysheet, dan yang paling penting membuka kompor untuk membuat minuman hangat.

 

Saat saya tanya mengapa mereka seperti itu, ternyata mereka tidak biasa melakukannya selama pendidikan. Saya, Mpri, dan Demang lantas agak khawatir dengan hal itu. Akhirnya terpaksa harus kami intervensi menyesuaikan kebiasaan yang sering dilakukan. Hal ini bukan sesuatu yang sepele, meminum teh hangat atau kopi saat istirahat makan siang atau berhenti di sela hujan bukan hanya perkara urusan perut. Lebih dari itu, hal-hal itu membantu dalam banyak hal. Kebiasaan itu membantu menjernihkan pikiran yang sudah diaduk keruh oleh lelah, juga mengisi tenaga yang terkuras selama perjalanan, dan yang lebih penting kebiasaan itu tak akan menghilangkan keintiman selama perjalanan. Bukankah perjalanan di alam bebas memang membuat manusia kembali kepada sifat dasarnya? Jadi mengapa tak kita nikmati saja perjalanannya dengan berhenti sejenak dan menyeduh teh hangat atau kopi sembari mengobrol banyak hal. Gunung tidak akan pernah pergi, ia tetap di sana. Manusia dapat menentukan kapan akan tiba di puncaknya. Yang terpenting adalah menikmati setiap jengkal langkahnya.

IMG_5808
Calon anggota yang akan dilantik plus teman jalan yang menemani selama di jalur. Berfoto sambil bergaya khas jalur.

AKHIRNYA semua yang terjadi di dalam perjalanan ini membuat saya sadar bahwa tali yang dulu digantungkan di ujung kepala ransel bukan sekadar tali. Ia adalah perlambang ikatan pertemanan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya yang akan masuk di Mapala. Ketika saya menemani calon anggota baru, sesungguhnya saya sedang berusaha menyambung pertalian generasi terdahulu ke generasi saat ini. Pertalian yang harus disambung dan dikuatkan. Maka tepat rasanya ketika tali yang dulu saya dapat tak pernah diganti, justru saya menambahkan tali baru sebagai wujud tambatan baru kepada generasi setelah saya. Tali generasi itu tak pernah diganti, tapi ditambah, dikuatkan. Hingga pada akhirnya akan menjadi satu rangkaian tali yang terikat sambung-menyambung panjang tak berujung.

 

Saya sadar bahwa semua ini adalah tentang sebuah pertemanan yang sambung menyambung, seperti tali baru yang sudah ditambah itu. Saya tak menemui hal seperti ini di tempat lain, mungkin hanya di Mapala. Sebuah pola pertemanan yang erat mengikat setiap generasinya. Anehnya, ikatan erat itu tak membuat kami merasa sesak terikat tak bisa melepaskan diri. Justru sebaliknya ikatan itu membuat kami merasa bebas untuk menentukan batas-batas. Sebuah pertemanan yang memerdekakan. Maka jika ada pertanyaan seperti di papan gambar tentang Mapala kembali diulang, jawabannya akan tetap sama. Apa yang paling spesial dari Mapala? Pertemanan tali ikatan antar-anggota lintas generasinya. Saya menyebut ini semua sebagai sebuah Pertemanan Tali.

Salam,

M-916-UI

2 respons untuk ‘Pertemanan Tali

Add yours

Tinggalkan komentar

Situs yang Didukung WordPress.com.

Atas ↑