Ode to Madre

Dalam cerita Harry Potter, kita tahu Lily Potter mengorbankan diri untuk menyelamatkan Harry Potter dari serangan Lord Voldemort di Godric Hollow pada malam 31 Oktober 1981. Kita juga tahu Lily meninggal dalam keadaan melindungi anaknya dari penyihir paling berbahaya sepanjang masa. Namun, berkat kegigihan dan ketulusan cintanya, kita juga tahu bahwa Harry Potter menjadi satu-satunya orang yang bisa selamat dari The Killing Curse alias mantra Avada Kadavra yang justru berbalik menyerang Voldemort.

“Kalau ada satu hal yang tidak bisa dimengerti oleh Voldemort, maka hal itu adalah cinta,” kata Dumbledore kepada Harry saat ia sudah di Hogwarts.

Perbuatan Lily pada malam halloween itu belakangan kita tahu merupakan mantra purba bernama Sacrificial Protection yang membuat orang yang dilindungi bisa aman dari segala ancaman. Pendeknya, cinta yang tulus untuk melindungi bahkan dengan mengorbankan nyawa merupakan “the ultimate protection” yang tidak bisa dikalahkan oleh sihir paling kuat sekalipun. Akhirnya, Harry Potter bisa hidup dengan aman walau orang yang melindunginya sudah tiada.

Pada bagian itu, J.K. Rowling seperti tidak sedang menjalin cerita fiksi. Kesan itu yang saya dapat saat menghubungkannya dengan kenyataan yang saya alami. Saat makin dewasa dan memikirkan kasih sayang ibu (atau saya memanggilnya emak), cerita itu makin terasa nyata.

Lily Potter dan James Potter yang terbunuh pada malam halloween oleh penyihir hitam paling berbahaya sepanjang masa, Lord Voldemort.

Ibu saya tentu saja bukan penyihir. Namun ia mampu menciptakan sesuatu yang luar biasa tanpa memerlukan mantra dan tongkat sihir. Modalnya hanya kasih sayang. Saya tak tahu ia belajar dari mana soal itu. Sebab, sependek pengetahuan saya perjalanan hidupnya tidak selalu dilalui dengan mudah. Ia merupakan anak keempat dari lima bersaudara sekaligus anak perempuan paling muda. Semua kakaknya merantau sehingga ia yang bertugas mengurus semua pekerjaan rumah selagi orangtuanya pergi bercocok tanam. Memasak, mencuci, dan mengurus adik adalah kesehariannya ketika remaja. Pada usia yang belasan tahun, ia juga bekerja di perkebunan kopi. Di sanalah ia bertemu calon suaminya dan pada usia 17 tahun sudah menyandang status baru sebagai seorang istri. Pada usia 19 tahun ia sudah melahirkan seorang anak yaitu saya.

Saya semakin tidak habis pikir ketika memikirkannya sekarang. Bagaimana perempuan berumur 19 tahun b isa menghadapi semua itu? Kalau membandingkannya dengan masa sekarang, usia semuda itu mungkin banyak dihabiskan untuk begadang mengerjakan tugas sambil sesekali mulai terasa terbebani dengan tuntutan yang makin menumpuk. Paling jauh mungkin remaja seusia itu disibukkan dengan kegiatan di luar kelas yang dalihnya untuk mengeksplor potensi diri.

Ibu pernah bertutur bahwa ia tidak pernah menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri. Saat beranjak dewasa ia banyak membantu orang lain dan dengan itulah ia menghabiskan hari-harinya. Pernah suatu kali saat masih remaja ia diajak oleh temannya untuk pergi ke pantai. Namun, hanya malang yang ia dapatkan pasalnya sepulang dari pantai yang jaraknya 25 km dari rumah ia kena marah orangtua. Sejak saat itu, ia tidak pernah pergi ke pantai lagi sampai sudah berkeluarga.

Masa remaja adalah masa untuk bersuka dan mengeksplor semua potensi diri. Photo by Helena Lopes on Pexels.com

Dari sekelumit cerita itu terbanyak bagaimana ia menjalani hidup. Namun yang mengesankan adalah ia tidak pernah mengeluh soal itu. Ia tidak pernah menaruh dendam terhadap orangtua maupun saudara. Malah sebaliknya ia sangat menyayangi orang di sekelilingnya. Saking sibuknya ia menolong orang lain, kami sebagai keluarga inti sampai tidak mengenali minat dan aspirasinya.

Dalam sebuah pembicaraan santai di ruang tamu bapak sedang mendengarkan Ebiet G. Ade yang menjadi favoritnya. Akbar adik bungsu saya tiba-tiba bertanya, “kalau bapak kan suka Ebiet, kalau emak sukanya apa ya?” tanya dia kepada kami. Bapak yang mendengar pertanyaan itu hanya bisa tersenyum dan dilanjutkan bercanda menyuruh Akbar untuk bertanya langsung kepada ibu. Akbar kemudian menanyakan soal itu dan ibu menjawab bahwa ia tidak punya preferensi tertentu soal musik.

Begitu juga referensi soal makanan. Kami sekeluarga tidak tahu apa yang menjadi favorit ibu. Setiap kali makan bersama, ibu lebih sibuk menyuruh seluruh anggota keluarganya untuk mengambil dan menghabiskan makanan. Sementara itu saya lihat dia hanya makan sedikit saja.

Yang lebih membuat heran adalah tentang tanggal lahir. Sejak kecil saya tahu ibu lahir pada bulan Januari sesuai penuturan dan data di KTP. Namun sekali waktu ia berkata bahwa tanggal lahir di KTP itu salah. Ia lahir pada bulan Mei, bukan Januari. Kesalahan itu terjadi karena petugas disdukcapil salah menginput tanggal. Ia enggan komplain karena itu berarti menambah kerumitan dan masalah. Karena itu kami sekeluarga bingung kapan harus mengucapkan ulang tahun kepadanya.

Terlepas dari semua kealpaan saya dan anggota keluarga, kasih sayangnya tidak pernah berkurang. Ia sangat sibuk memastikan orang yang disayangnya bahagia. Perhatian itu selalu ia tunjukkan misalnya saat malam Kamis Kliwon, hari kelahiran saya. Setiap hari itu, ia akan menelpon dan mengingatkan tentang hari lahir saya. Pengingat itu kemudian ia lanjutkan dengan anjuran untuk berdoa karena hari lahir adalah hari yang sangat baik agar doa dikabulkan. Ibu lebih sering mengingatkan saya tentang hari lahir sesuai penanggalan Jawa daripada tanggal lahir yang jatuh setiap tahun.

Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang masa. Photo by Jep Gambardella on Pexels.com

Kemegahan kasih sayang itu semakin saya rasakan ketika sudah pergi merantau untuk kuliah. Saya menyadari itu pada kepulangan yang kesekian. Semakin tahun, durasi saya pulang ke rumah semakin sedikit. Dalam waktu yang pendek itu saya lebih banyak menghabiskan waktu di luar untuk memenuhi janji bertemu teman SMP hingga SMA. Karena banyaknya agenda itu, ibu melakukan trik untuk menahan saya agar tidak keluar rumah dengan cara memasak beragam makanan kesukaan saya setiap hari. Jika saya pulang selama satu minggu, maka ia memasak tujuh masakan yang berbeda tiap hari. Kendati tidak pernah mengaku, tapi saya tahu bahwa tindakannya itu adalah sedikit dari upayanya tanpa menggunakan kata-kata untuk menahan saya agar lebih banyak di rumah menghabiskan waktu dengannya. Setiap kali ditanya tentang masakan yang berbeda ia selalu bilang bahwa ia ingin memastikan gizi anaknya tercukupi selagi di rumah karena ia tahu harga makanan di perantauan lebih mahal dibandingkan di rumah.

Tindakan ibu itu menyulut protes dari Akbar. Ia merasa bahwa ibu hanya memasak beragam makanan hanya ketika saya pulang. Hal itu berbeda sekali dengan yang ia lakukan sehari-hari. Saya tahu cerita itu dari budhe yang tinggal di sebelah rumah dan memerhatikan tingkah laku Akbar. Selain bukan seorang pemilih dalam hal makanan, saya harus akui bahwa masakan ibu memang enak. Hal tersebut bahkan diakui oleh saudara dan tetangga yang selalu meminta bantuan ibu untuk masak setiap kali ada hajatan.

Perhatian ibu tidak hanya ia tunjukkan melalui makanan. Sesekali ia menunjukkannya melalui tindakan dan pertanyaan. Misalnya saat saya kuliah semester lima. Saat pulang, saya sedang memanjangkan rambut sepanjang bahu. Ia tidak protes selain hanya berdecak dan bergeleng kepala. Dalam suasana santai di beranda, saya yang duduk di sebelahnya suka merebahkan diri dan menaruh kepala di kakinya. Ia mengelus kepala saya sambil merapihkan rambut panjang saya. Tiba-tiba ia bertanya, “kamu tuh nggak stres, kan?” Saya bingung harus menjawab apa selain tertawa karena saya baik-baik saja. Rambut panjang hanya ekspresi dan keinginan, tidak lebih dari itu. Namun setelah saya melihat foto-foto zaman itu dan berpikir ulang, saya memang terlihat lusuh dan tidak terurus di perantauan. Sekilas penampilan saya terlihat seperti orang yang memendam banyak pikiran dan perasaan.

Yang saya pelajari adalah ibu akan selalu memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak dengan atau tanpa permintaan anaknya. Saya merasakannya saat sedang putus cinta. Dalam banyak kesempatan saya sering bercerita apa saja kepada ibu. Karena saya merasa ia mau mendengar tanpa menghakimi sehingga saya merasa aman untuk bercerita. Setiap sedang dekat dengan seseorang, saya hampir pasti cerita kepadanya. Suatu kali saya pernah menjalin kasih dengan seseorang dan ibu tahu soal itu. Kisah cinta saya akhirnya kandas dan ibu menanyakan soal itu dalam sebuah pembicaraan telepon. Tadinya saya tidak berniat cerita, tapi ia selalu punya cara untuk membiarkan anaknya bertutur. Setelah selesai bercerita, ia tidak menghakimi saya. Ia hanya menanyakan beberapa hal termasuk kondisi saya kemudian berusaha menghibur sedikit. Sejak itu ia jadi lebih sering menelpon untuk sekadar mengobrol apa saja. Mungkin ia ingin memastikan anaknya baik-baik saja atau merasa khawatir, saya tidak tahu pasti. Yang saya tahu, itu adalah salah satu tindakan luar biasa yang bisa ia lakukan tanpa perlu merapal mantra dan menyalurkannya melalui tongkat sihir.

Forever. Photo by Liliana Drew on Pexels.com

Sampai kapan pun, seorang ibu akan menganggap anaknya tetap anak-anak. Tak peduli seberapa tinggi dan besar badan anaknya. Saya pun mengalami itu. Setiap pulang ke rumah dan sering pulang larut malam karena bertemu teman-teman di warung kopi, tindakan ibu masih sama seperti saat saya masih remaja dulu. Sebelum pergi saya selalu berpesan kepadanya untuk meletakkan kunci di tempat biasa agar tidak perlu menunggu saya pulang untuk mengunci pintu. Namun, saya sering mendapati ibu tertidur di ruang tamu hanya untuk menunggu saya pulang. Setelah saya membuka pintu, ia bangun dari tidur dan pindah ke kamar. Mungkin itu salah satu caranya untuk memastikan anaknya baik-baik saja sampai pulang ke rumah.

Sepuluh tahun saya hidup sendiri di perantauan dan puluhan kali saya pulang, tapi perhatiannya tetap sama. Ia selalu menawari saya untuk membawa bekal dan beragam makanan untuk dibawa selama perjalanan. Saya sering menolak karena tidak ingin merepotkannya. Namun, kadang saya setuju karena saya tahu itu adalah sebagian dari kebahagiaannya. Tentu saya tidak tega untuk menolak sumber kebahagiaan ibu sekalipun itu merepotkannya.

Setiap mengobrol tentang kehidupan saya yang sendirian, ia selalu berharap saya bertemu orang yang tidak hanya menyayangi saya tapi juga keluarga. Alasannya sederhana. Ia khawatir saya akan sukar pulang apabila memiliki pasangan yang tidak sayang dengan keluarga saya. Ia juga khawatir saya melewatkan momen-momen penting keluarga kami di desa. Ia khawatir akan susah menjenguk saya di Jakarta apabila pasangan saya tidak menghendakinya. Karena itulah saya akan memastikan untuk memenuhi permintaannya. Saya ingin mencari seseorang yang bisa menyayangi saya dan keluarga seperti ia menyayangi keluarganya sendiri. Jika tidak bisa, entah dengan cara apa saya bisa memaafkan diri sendiri.

Saat sungkeman pada hari raya kemarin ia mendoakan saya dengan sesuatu yang spesifik. Saya hanya tersenyum mendengarnya, saya mengamininya supaya terkabul. Ngomong-ngomong soal doa, ada salah satu rahasia yang tidak banyak diketahui orang tentang ibu. Ia adalah orang yang sangat empatik dan memiliki pola pikir yang lurus dan tulus. Ia percaya bahwa kekuatan doa dan kata-kata ibu bisa memengaruhi anaknya. Setiap kali mendengar atau melihat seorang ibu yang merapalkan kata-kata tidak pantas kepada anaknya, ia selalu merasa iba. Ia tidak sanggup membayangkan seandainya perkataan ibu kepada anaknya itu menjadi kenyataan. Menurutnya, seorang ibu harus berkata dan berdoa yang baik untuk anaknya dan itu selalu ia lakukan.

Photo by Monstera on Pexels.com

Ternyata, tulisan ini sudah sangat panjang dan masih banyak yang belum saya tulis jika berbicara mengenai kasih sayang ibu selama 27 tahun saya ada di dunia. Mungkin saya akan menulis pada kesempatan yang lain.

Kalau ada orang yang bilang saya hanya bermodal beruntung mendapat semuanya, mungkin karena mereka tidak mengenal ibu saya. Kalau orang tahu bahwa setiap langkah saya selalu diiringi oleh doa ibu, saya rasa mereka tidak akan heran. Ibu saya selalu memberikan saya segelas air yang sudah ia beri doa setiap kali saya akan menghadapi momen penting atau pada hari-hari baik lainnya. Alih-alih mantra sihir, ia justru merapalkan doa pada malam gelap yang lalu disalurkan ke dalam air untuk saya minum agar selalu dalam perlindungannya.

Kalau ada satu keberuntungan yang saya miliki di dunia, maka hal tersebut adalah saya lahir ke dunia dari rahim seorang perempuan yang tahu betul arti besar perannya untuk orang lain. Ia adalah orang yang lurus dan tulus menjalankan perannya sebagai seorang ibu tanpa perlu mantra sihir. Ia menggunakan kasih sayang untuk menciptakan sesuatu yang luar biasa di dunia ini.

Saya berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengannya sambil berharap ia terus sehat sampai doa-doanya terkabul. Ia pantas mendapatkan yang terbaik. Semoga.

Kota D, Juni 2022

FA

Satu respons untuk “Ode to Madre

Add yours

Tinggalkan komentar

Situs yang Didukung WordPress.com.

Atas ↑