Yang Tersisa Dalam Sebuah Pejalanan

Manusia sering dilenakan oleh matahari dalam hitungan hari dan baru menyadarinya setelah bulan mulai berganti. Begitulah kutipan salah satu alasan Roger Waters saat menulis album tema The Dark Side of The Moon yang fenomenal itu. Saya membutuhkan waktu lama untuk memahami setidaknya sampai tiba pada satu kata yang sering diucapkan kala baru mengerti sesuatu: “Ohhh,” Begitu kira-kira. Saya paham ketika terlena sendiri dalam keseharian dan baru menyadari sesuatu setelah bulan berganti, bahkan tahun yang berganti.

Hari ini sudah hari kesepuluh dari tahun 2017 yang baru saja mulai. Kemarin, saya menghadiri ujian seorang teman. Sembari menunggu dia ujian, saya terlibat obrolan dengan teman lain. Dan di dalam obrolan, kemudian kami menuju satu pembahasan bahwa teman kami yang sedang ujian ini adalah yang terakhir di angkatan kami. Ingatan saya mulai mencari dan menghubungkan peristiwa itu dengan serangkaian peristiwa yang sudah lewat. Saya terlena.

Ternyata sudah 4,5 tahun berlalu sejak pekenalan kami sebagai satu bagian dari kawah akademika. Bermodal kemauan dan kemampaun serta minimnya pengetahuan soal tempat menimba ilmu. Kami, yang baru berusia rata-rata 17 tahun lewat saat itu, pergi jauh hampir 1000 km dari rumah tempat kami dibesarkan selama bertahun-tahun. Perpaduan antara keraguan dan rasa penasaran memang merupakan suatu hal yang luar biasa. Haruskah kita beranjak ke kota yang penuh dengan tanya? Rasanya pertanyaan retorik Ahmad Albar itu dapat saya jawab dengan stel yakin: Ya!

Saat saya berpikir tentang 4,5 tahun ke depan, kepala saya rasanya menerobos sebuah lorong waktu yang panjang penuh tanya. Waktu yang sangat lama, pikir saya. Tapi pikiran itu rasanya harus disingkirkan manakala saya berpikir tentang 4,5 tahun ke belakang. Rasanya hanya seperti membuka pintu ke mana saja doraemon yang dengannya saya bisa bebas ke mana saja semau saya. Betapa pendek rasanya. Sungguh lucu perspektif waktu. Terasa cepat dan lambat dalam perspektif yang berbeda. Betapa waktu memang akhirnya hanya sekadar hitungan angka-angka. Perasaan, yang melingkupi manusia hidup di dalam waktu membuatnya demikian.

img-20150907-wa0028
Foto yang dihasilkan setelah melalui perencanaan panjang

Rasanya baru kemarin kami kumpul-kumpul di asrama mahasiswa, di kantin asrama berbentuk persegi itu. Duduk berderet menggeser bangku dan meja kala yang berkumpul hingga belasan orang. Segera setelah itu berbicara apa saja dengan budaya khas pandalungan yang ceplas-ceplos, penuh kejujuran, campur-campur, dan cerawak sebagai bagian khas dari tempat kami berasal. Di tempat yang jauh, kami adalah satu. Tak ada pengecualian sekalipun kami berasal dari daerah yang terpencar-pencar dalam satu kabupaten. Dari timur hingga ke barat, dari selatan hingga utara. Oh ya, di tempat kami haram hukumnya mengucapkan nama kabupaten kami yang disingkat beserta dengan utara, yang boleh adalah menyingkat dengan menyandingkan nama kabupaten dan kata ganti utara dalam bahasa jawa, yakni Lor.

Rasanya baru kemarin usil-usil menyiram dan menyemplungkan yang lain ke dalam kolam saat ulang tahun, rasanya baru kemarin merencanakan foto bersama untuk mengabadikan sesuatu karena seiring berkurangnya intensitas pertemuan, rasanya baru kemarin mudik bersama-sama pulang ke rumah ketinggalan kereta tapi masih bisa santai, rasanya juga baru kemarin urakan di kantin asrama meneriakkan yel-yel fakultas hingga penghuni lain menengok dan bikin malu, rasanya baru kemarin dengan dilema mempromosikan kawah akademika ini kepada adik-adik di tempat asal, rasanya juga baru kemarin memulai itu semua.

Tapi, saya terlena. Peristiwa-peristiwa itu sudah lama berlalu, sudah 4,5 tahun, bukan kemarin. Hanya rasanya saja seperti kemarin. Ada perasaan senang karena sudah menyelesaikan salah satu tahapan di dalam kehidupan, sekalipun hanya meneruskan sejarah. Tetapi, ada sekaligus perasaan kehilangan jauh melebihi perasaan kehilangan saat teman lain mendahului menyelesaikan perjalanan di kawah akademika ini. Setidaknya saya paham satu hal lagi. Bahwa di dalam perjalanan kawah akademika ini, tidak tepat menyebut seseorang lulus tepat waktu. Istilah yang lebih tepat bagi saya, mereka semua menyelesaikan perjalanan di waktu yang tepat. Mereka yang cepat, menyelesaikan di waktu yang tepat. Mereka yang lambat, juga menyelesaikan di waktu yang tepat. Ketepatan itu didasari pada petualangan yang dilakukan saat melakukan perjalanan. Setiap orang memiliki petualangannya masing-masing. So, Ā respect everyone journey.

Sejatinya perasaan itu sudah dimulai sejak yang termuda dari kami sekaligus menjadi yang paling cepat menyelesaikan perjalanan. Kami sudah tahu bahwa waktu ini akan tiba. Cuma pada saat perjalanan berlangsung, kami tidak tahu kapan waktu ini akan tiba. Kami tenggelam di dalam keseharian, menghidupi kehidupan, hingga akhirnya tertegun saat bergitu banyak hal sudah terlewati. Kami menyelesaikan perjalanan.

Seperti kata Sapardi, yang fana memang adalah waktu, sedang kita akan abadi. Setiap hari memungut detik demi detik, hingga akhirnya lupa untuk apa. Bagi saya, bukan waktu yang harus dipungut, biarkan saja ia di sana, tapi ingatan dan perasaan lah yang harus dikumpulkan, disimpan rapi sebagai penghias pengingat perjalanan. Hingga pada akhirnya, kita tetap biarkan waktu menjadi fana, sedang kisah kita abadi.

Semoga masih ada perjalanan untuk dilanjutkan, semoga masih ada cerita untuk dibagikan. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya.

Saya menutup hari kemarin dengan sekali lagi menapakkan kaki bergantian mengelilingi kawah akademika kami. Rasanya mirip seperti perjalanan ini. Saya tenggelam di dalam setiap lekuknya, setiap cacat aspal jalannya, setiap gugur daunnya, setiap jengkal jaraknya, hingga lupa bahwa saya sudah berada di titik saya memulai. Saya menyelesaikan perjalanan, kami semua.

Tinggalkan komentar

Situs yang Didukung WordPress.com.

Atas ↑