Tak Ada Hari Yang Lebih Mudah Di Gandang Dewata (Bagian 2)

Puncak dan Apa Yang Terjadi Di Sekitarnya

Empat hari berjalan dengan pola yang sama, kami jadi terbiasa dengan penderitaan mendaki Gandang Dewata. Bahkan, saya hanya bisa tertawa ketika tahu bahwa ketinggian Pos 7 yang merupakan pos terakhir untuk berkembah hanya setinggi 1780 mdpl, hanya 500 meter lebih tinggi dari tempat kami memulai pendakian! Padahal kami sudah berjalan 4 hari, menderita banyak sekali, dan hampir tiba di puncak. Kami sudah mewajarkan semua itu, kendati rasa penasaran terhadap wujud sang gunung tetap ada.

Saya berpikir bahwa perjalanan ke puncak tidak akan terasa berat karena kami tidak perlu membawa semua barang. Kami hanya perlu membawa bekal makan siang dan barang-barang penting seperti headlamp, snack, dan jaket penahan dingin. Tapi lagi-lagi harapan adalah sumber kekecewaan kami sendiri.

Perjalanan ke puncak tak semudah yang saya bayangkan. Perjalanan dari Pos 7 harus dimulai dengan menyebrang sungai besar seperti selepas Pos 5. Kendati sudah biasa mendaki dari punggungan mati, Gandang Dewata memberi yang jauh lebih menantang. Selepas menyebrang sungai dari pos 7, kami harus menaiki lereng yang keterjalannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Lereng terjal yang lengkap dengan vegetasi rapat dan kemiringan luar biasa. Saya bahkan bisa mendengar dengan jelas suara air sungai di bawahnya. Bukankah aliran sungai memang lebih terdengar jelas ketika kita di lereng? Ketika kami sudah tiba di punggungan utama, keterjalannya masih sama seperti leher Pangrango, hanya saja kali ini lebih panjang. Menjelang Pos 8 dan Pos 9 ada sedikit tempat datar, namun kira-kira hanya 10 meter. Sisanya adalah tanjakan tak berujung.

DSCF8466
Isirahat di Pos 8. Sedikit tempat datar yang terdapat di Gandang Dewata dalam perjalanan menuju puncak. (Dok. Yudhi Yanto)

Saya masih berpikir untuk melihat puncak Gandang Dewata ketika berada di Pos 9 atau pos terakhir pendakian. Tapi, saya salah. Dari sana, kami memang melihat sebuah puncak, seperti bisa ditebak, itu bukan Gandang Dewata. Saya kembali bertanya kepada Murham karena rasa penasaran saya sudah menumpuk. Kata Murham, itu bukan puncak Gandang Dewata. Masih ada satu puncak lagi. Dari puncak yang dimaksud Murham itu saya akhirnya bisa melihat puncak Gandang Dewata. Dari sana, saya bisa melihat puncak Gandang Dewata meski sebentar. Sisanya tertutup lagi oleh kabut.

Rasa senang karena bisa melihat puncak segera terpendam setelah melihat “The Last Step”. Punggungan terakhir sebelum puncak biasanya adalah saat paling menyenangkan karena kita hampir tiba di tujuan, seperti Hillary Step di Everest, tapi tidak di Gandang Dewata. Kami harus berjalan ke kanan dari sisi puncak yang terlihat. Dari situ, kami harus terus berjalan naik ke kanan hingga ke punggungan puncak. Dari sana perjalanan harus dilanjutkan ke arah kiri hingga ke puncak.

Tak ada pemandangan indah di Puncak Gandang Dewata. Seperti Puncak Salak 2. Hanya saja tempatnya lebih luas dibandingkan Salak 2. Ada satu tugu dan tiang bendera. Di sekitar puncaknya ada banyak tanda dari pendaki yang sudah tiba di puncak. Mungkin mereka meletakkan penanda itu sembari menggerutu atau kesal, saya tak tahu.

DSCF8497
Puncak Gandang Dewata (3037 mdpl) yang mirip Puncak Salak 2. Dari kiri-kanan: Yudhi Yanto, Zenit Julita Sari, Firman Arif, Agam Napitupulu. Tim Mapala UI pertama di puncak Gandang Dewata. (Dok. Murham Muchtar)

Rudy Badil pernah berkata bahwa waktu paling menyenangkan ketika naik gunung adalah saat kita berjalan turun dari puncak gunung. Sebab saat itu kita akan melamunkan kamar rumah dengan kasurnya yang nyaman dan makanan enak yang tak habis-habis. Sehingga impian utama ketika turun gunung adalah tiba di rumah, lalu makan dan tidur sepuasnya. Setelah mendaki Gandang Dewata, saya tak bisa sepakat dengan Rudy Badil.

Perjalanan turun adalah sesuatu yang tidak kalah menyiksa di Gandang Dewata. Siksaan itu mula-mula harus dirasakan saat turun dari puncak. Bila jalan ke puncaknya terjal, maka sudah pasti turunnya juga demikian. Hal ini sudah menjadi pengetahuan umum. Keterjalan jalur membuat perjalanan turun menjadi lambat. Belum lagi hujan yang pasti akan jatuh karena kita berada di tengah pegunungan. Perjalanan akan bertambah berat. Saking beratnya perjalanan, kami sampai memutuskan untuk berhenti sejenak di tempat datar pinggir sebatang pohon untuk makan, menyeduh minuman, dan paling utama memulihkan tenaga dan pikiran. Ketika itu hari sudah malam, kami berada di lereng, dan suara air yang meninggi karena hujan seharian makin jelas terdengar.

Saya semakin yakin untuk tidak sepakat dengan Rudy Badil setelah berjalan pulang dari Pos 7 menuju Pos 1. Seperti yang sudah saya sebut, perjalanan di Gandang Dewata memiliki tipe yang sama, yaitu naik bergunung-gunung tiap hari lalu turun kembali. Meski hanya berbeda 500 meter dari Pos 7 ke Pos 1, tapi kami harus mendaki bergunung-gunung itu selama 4 hari. Perjalanan akan makin berat ketika awan yang berkumpul di tengah pegunungan sudah jenuh dan menjadi hujan yang akan menemani perjalanan.

DSCF8525
Menjemur pakaian yang basah karena terpapar hujan di hari sebelumnya. Lokasi berada di Pos 6, tidak sesuai target. (Dok. Yudhi Yanto)

Selepas siang adalah waktu yang hampir pasti untuk hujan di Pegunungan Quarles. Kami pun harus menyesuaikan rencana karena hujan ini. Waktu itu kami berjalan dari Pos 7 menuju Pos 5. Kami terpaksa memutuskan untuk berkemah di Pos 6 karena hujan deras jatuh sejak siang hingga sore menjelang. Kami memutuskan untuk berkemah karena khawatir sungai yang harus diseberangi sebanyak 6 kali itu meluap dan menyulitkan perjalanan. Selain itu, hujan sudah menguras banyak tenaga kami.

Gunung ini benar-benar menguji mental, tak hanya fisik. Setiap berhenti, kami selalu berbicara tentang betapa beratnya gunung ini untuk didaki. Lantas pembicaraan selalu dilanjutkan dengan candaan mengapa kami mau mendaki gunung ini. Padahal banyak gunung yang lebih bagus kalau sekadar ingin melihat pemandangan. Banyak gunung yang lebih tinggi kalau hanya ingin mengejar ketinggian. Lantas kami berkesimpulan bahwa gunung ini memang tidak untuk sembarang orang. Hanya mereka yang benar-benar ingin menguji diri-lah yang mau dan sanggup ke Gandang Dewata.

Bersambung

Bagian 1: Keanehan Gandang Dewata
Bagian 2: Puncak dan Apa Yang Terjadi Di Sekitarnya
Bagian 3: Di Balik Penderitaan Pendakian Gandang Dewata

Jadwal pendakian Gandang Dewata

H1: Dusun Rante Pongkok – Pos 1
H2: Pos 1 – Pos 3
H3: Pos 3 – Pos 5
H4: Pos 5 – Pos 7
H5: Pos 7 – Puncak – Pos 7
H6: Pos 7 – Pos 5
H7: Pos 5 – Pos 3
H8: Pos 3 – Dusun Rante Pongkok

Semua jadwal sudah mempertimbangkan jarak pendakian, bentukan medan, letak kemah, dan sumber air.

Data GPS Gandang Dewata
Data GPS perjalanan Gandang Dewata diambil dari Garmin Etrex 30.

2 respons untuk ‘Tak Ada Hari Yang Lebih Mudah Di Gandang Dewata (Bagian 2)

Add yours

Tinggalkan komentar

Situs yang Didukung WordPress.com.

Atas ↑